Namun sebelum semua itu, saya ingin mundur sedikit.
Karena sesungguhnya, perjalanan saya sebagai pemimpin tidak dimulai dari ruang rapat — tapi dari layar komputer.
Di awal karier, saya adalah seorang web dan graphic designer.
Saya menghabiskan banyak waktu mengolah piksel, menyusun tipografi, mengatur keseimbangan warna, dan menciptakan alur pengalaman pengguna yang tidak hanya fungsional tapi juga estetik.
Desain bukan hanya membuat sesuatu terlihat indah — tapi membuat sesuatu bekerja dengan logika dan kejelasan. Dan tanpa saya sadari, disiplin inilah yang mengasah kedua sisi saya: otak kiri dan otak kanan.
Saya belajar mencintai seni, keteraturan, dan sistem.
Saya memahami pentingnya konsistensi, ritme, struktur — nilai-nilai yang kemudian saya bawa dalam memimpin tim dan membangun organisasi. Desain melatih saya untuk berpikir holistik, menyatukan antara bentuk dan fungsi, antara visi dan eksekusi.
Mungkin ini pula yang menjelaskan mengapa saya begitu tertarik pada musik.
Musik, seperti desain dan kepemimpinan, adalah tentang harmoni. Ada irama, jeda, dinamika.
Seorang musisi tidak hanya memainkan nada, ia meresapi momentum — kapan harus masuk, kapan harus menahan, dan kapan harus membiarkan keheningan bicara.
Begitu pula seorang pemimpin: bukan tentang selalu bersuara paling keras, tapi tahu kapan memberi ruang untuk orang lain berkembang.
Dan mungkin karena itulah, saat saya akhirnya memimpin perusahaan, saya tidak melihat organisasi hanya sebagai struktur hierarkis. Saya melihatnya sebagai orchestra — tempat setiap orang memainkan perannya, saling mendengarkan, saling menyempurnakan.
Keluar dari Introvert, Masuk ke Dunia Kepemimpinan
Tapi ada satu hal lain yang tidak kalah penting — dan mungkin justru menjadi tantangan terbesar saya:
saya adalah seorang introvert.
Sebagai seseorang yang berasal dari dunia IT, itu hal yang umum. Saya lebih nyaman dengan kode, desain, dan sistem daripada harus tampil di forum atau berbicara panjang dalam rapat besar.
Saya sering bekerja hingga larut malam, bahkan menginap di kantor. Tidak ada yang memaksa. Saya menikmati itu.
Internet adalah teman terbaik saya saat itu — tempat saya belajar segalanya: desain, bisnis, teknologi, bahkan psikologi organisasi. Tapi lama-lama saya mulai merasa ada sesuatu yang kurang.
Saya mulai bertanya: apakah ini cukup untuk jadi sukses?
Dan perlahan, mindset saya mulai bergeser.
Dulu saya berpikir bahwa untuk menjadi sukses saya harus menjadi specialist terbaik di bidang saya. Tapi semakin banyak saya belajar, semakin saya sadar bahwa justru yang bisa bertahan dan relevan dalam jangka panjang adalah mereka yang bisa menjadi generalist yang adaptif. Yang bisa berbicara lintas bidang, lintas level, dan lintas bahasa — dari logika bisnis hingga empati manusia.
Itu adalah titik ketika saya memutuskan untuk keluar dari “kulit introvert” saya.
Saya belajar untuk bicara, mendengarkan orang lain, dan hadir dalam percakapan yang sebelumnya saya hindari.
Saya sadar bahwa kemampuan komunikasi bukanlah bakat — ia bisa dilatih. Dan saya membaca satu prinsip yang saya pegang hingga hari ini:
"Talk to strangers."
Prinsip ini sederhana, tapi sangat kuat.
Saya mulai melatih diri untuk berbicara dengan orang yang belum saya kenal. Saat makan siang, di lift, atau dalam forum kecil.
Awalnya canggung. Tapi perlahan, saya terbiasa. Dan akhirnya, saya menyadari bahwa dunia ini tidak sekompleks yang saya kira — orang-orang justru senang jika ada yang membuka komunikasi lebih dulu.
Transformasi ini menjadi fondasi penting ketika saya naik ke posisi-posisi strategis.
Kemampuan berbicara, membangun koneksi, dan memahami perspektif orang lain adalah modal yang tidak bisa digantikan hanya dengan kemampuan teknikal. Dan saya percaya, menjadi generalist bukan berarti tahu segalanya — tapi tahu cara terhubung dengan siapa saja, dan bertanya dengan cara yang tepat.
Pick a Boss, Not Just a Job
Di masa-masa awal karier, ada satu prinsip penting yang saya pegang teguh: pilihlah bos, bukan hanya pekerjaan.
Saya belajar prinsip ini dari ibu saya. Beliau selalu berkata, “Kalau kamu ingin maju, dekati orang yang mau menarikmu ke atas.” Dan saya menyerap ini sebagai strategi personal: saya tidak hanya mencari posisi yang bagus, tapi atasan yang bisa membimbing, menantang, dan memberi ruang untuk berkembang.
Saya pernah mengambil pekerjaan yang secara struktur berada satu hingga dua level di atas jabatan saya. Tapi saya ambil tanpa ragu. Saya percaya, saat kita menunjukkan bahwa kita bisa diandalkan—bahwa kita bukan hanya pelaksana, tapi solusi—maka peluang akan mencari kita, bukan sebaliknya.
Menjadi orang kepercayaan dari pemimpin yang tepat adalah akselerator terbaik dalam perjalanan kepemimpinan saya.
Dari Eksekutor ke Visioner
Transisi dari eksekutor ke pemimpin bukan sesuatu yang terjadi dalam semalam.
Itu adalah proses panjang, seringkali tidak nyaman, dan penuh ketegangan antara getting things done dan letting go.
Sebagai eksekutor, kita cenderung ingin memegang kendali. Tapi sebagai pemimpin, kita harus belajar melepaskan — memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh, sambil tetap menjaga arah kapal.
Saya ingat jelas masa-masa ketika saya menjabat sebagai Chief Operating Officer. Saat itu, saya mengelola banyak fungsi kritikal di perusahaan. Kecepatan, presisi, dan eksekusi adalah segalanya. Tapi di tengah kesibukan itu, saya mulai melihat sesuatu: ada gap antara arah strategi dan realita di lapangan. Dan saya merasa terpanggil untuk menjembatani itu — bukan hanya dengan bekerja lebih keras, tapi dengan berpikir lebih jauh.
Di sinilah visi mulai tumbuh.
Visi tidak datang seperti kilatan petir. Ia muncul dari pengalaman, dari frustasi, dari percakapan-percakapan kecil, dan dari keberanian untuk bertanya: haruskah kita terus begini? Atau bisakah kita menciptakan cara baru yang lebih baik?
Ketika akhirnya saya dipercaya untuk memimpin sebagai CEO, saya tahu bahwa saya tidak bisa membawa cara lama ke peran yang baru. Perubahan pertama yang harus saya lakukan adalah pada diri saya sendiri: cara berpikir saya, cara memandang waktu, dan terutama cara saya memandang orang-orang di sekitar saya.
Saya mulai menyadari bahwa nilai saya sebagai pemimpin tidak terletak pada seberapa banyak pekerjaan yang saya selesaikan, tapi pada seberapa jelas saya bisa menunjukkan arah — dan seberapa besar saya bisa membangkitkan keyakinan orang lain untuk ikut melangkah ke sana.
Ada satu momen yang sangat mengubah cara saya memandang kepemimpinan: ketika saya diminta untuk membuat roadmap pertumbuhan perusahaan selama 3–5 tahun ke depan. Di masa sebelumnya, mungkin saya akan langsung duduk di depan spreadsheet. Tapi saat itu, saya justru memulai dari pertanyaan: Why do we exist? Untuk siapa kita hadir? Apa nilai yang bisa kita berikan untuk Indonesia yang sedang bergerak digital?
Dari situlah lahir banyak hal — transformasi portofolio, penguatan ekosistem, pembentukan tim digital, dan perubahan budaya organisasi. Semua dimulai bukan dari instruksi, tapi dari visi.
Dan saya belajar satu hal penting: Eksekusi adalah tentang hari ini. Visi adalah tentang masa depan. Pemimpin yang sejati tahu kapan harus berada di antara keduanya.
Post a Comment