Masih Layak-kah Televisi Lokal Kita Tonton

Kita kehilangan beberapa ikon televisi yang mendidik, kita kehilangan citra manusia cerdas, lebih berbahaya lagi kita kehilangan sikap dan culture asli yang ada di diri kita, akibat tontonan gratis tak mendidik televisi lokal dibalik kedok yang bernama sinetron.

TV kabel telah sedikit menolong kita untuk kembali besikap cerdas, kritis, dan up to date. Saya anggap sama halnya dengan DVD bajakan, yang secara tidak langsung telah mengajak kita untuk berlaku cerdas dengan harga yang relative murah.

Tontonan lokal sudah harus segera dihindari atau dikritik agar lebih berkualitas, bukan malah jadi sebuah tontonan yang nantinya menjerumuskan kita jadi korban kebodohan hanya karena mereka pembuat film justru lebih melihat angka dan materi dibandingkan kualitas tontonan yang mereka sajikan.

Sama halnya dengan film-film lokal yang nongkrong di bioskop, terkecuali beberapa film cerdas seperti ayat-ayat cinta, pintu terlarang, dan beberapa film yang sempat fenomenal akibat begitu banyak respon positif dari para kritikus-kritikus film lokal seperti Totot Indrarto misal.

Film-film seperti itulah sebenarnya yang pengen saya nikmati, atau seandainya tv lokal tertarik untuk menayangkan film-film independent atau hire sebuah production house yang memproduksi film-film dokumenter dan film-film yang selalu nimbrung di ajang film festival yang belakangan ini banyak di gelar di Jakarta, seperti Jiffest, kemungkinan saya akan nongkrong terus di tv saya yang saat ini sudah tak saya lihat terkecuali saat ada tayangan sepakbola saja.

Ironis memang, tapi inilah situasi yang ada di perfilman kita, yang berkualitas dan tidak menjual itu tidak ada harganya, dibanding tidak berkualitas tapi menjual. Materi atau raupan keuntungan adalah tolok ukur dari segalanya, meski saya juga mungkin tidak naif untuk mengakui apa yang telah saya lakukan semata-mata untuk materi jika kebetulan saya nanti jadi produser atau pembuat film.